Oleh: SUHENDAR, SH., MM. (Praktisi Hukum yang juga Ketua DPD PERADMI Bogor)
TINTA RAKYAT,+ Saat ini kita dihadapkan dengan banyak nya perkara-perkara tindak pidana yang telah diatur di Undang Undang (UU) khusus (lex specialis), disatu sisi banyak nya UU khusus merupakan sebuah terobosan hukum yang harus diapresiasi demi tegak nya hukum dan kepastian hukum.
Dengan lahirnya UU khusus perkara–perkara tertentu, maka dalam penerapannya wajib menggunakan azas Lex Specialis derogat legi generalis (sesuatu yang diatur khusus, mengesampingkan sesuatu yang telah diatur umum).
Ketika berbicara tentang kekhususan sebuah aturan, seperti perbuatan tidak pidana asusila atau kekerasan seksual kita harus mengacu pada ketentuan UU No. 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dilahirkan untuk mengantisipasi banyak nya korban kekerasan seksual yang dalam penegakan hukumnya sangat sulit dilakukan dengan hanya mengacu KUHP dan KUHAP secara umum, maka diaturlah secara khusus. Dalam UU TPKS ini meliputi 9 perbuatan tindak pidana asusila, mengacu bunyi Pasal 4 ayat (1) UU TPKS, tindak pidana kekerasan seksual terdiri atas: pelecehan seksual nonfisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual;
Akan tetapi, lahir nya UU TPKS ini pun menyisakan permasalahan tersendiri, karena di dalam dalam UU TPKS (Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual) yang tertuang pada Pasal 10, saksi adalah siapa pun yang dapat memberikan keterangan untuk penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang perkara kekerasan seksual yang ia dengar, lihat, atau alami sendiri, atau bahkan keterangan terkait perkara tersebut meskipun tidak dialami langsung. Saksi bisa termasuk korban (dalam kapasitasnya sebagai saksi), orang lain yang mengetahui kejadian, ahli, hingga alat bukti sah seperti keterangan terdakwa atau informasi elektronik. Dan lebih parah nya lagi, di dalam UU TPKS, keterangan saksi/korban dan satu alat bukti cukup untuk menentukan terdakwa, biasanya untuk menentukan dakwaan terhadap pelaku tindak kejahatan membutuhkan keterangan saksi/korban atau alat bukti yang lengkap sebagaimana diatur pada Pasal 184 ayat (1). Namun, dalam UU TPKS, satu keterangan dan barang bukti sudah cukup untuk menentukan dakwaan terhadap seseorang.
Pelaku tindak pidana kekerasan seksual terancam hukuman penjara maksimal 9 tahun dan/atau denda maksimal Rp. 200 juta, serta terdapat pidana tambahan untuk pelaku kekerasan seksual. Di dalam UU TPKS Pasal 11, disebutkan bahwa pelaku tindak kekerasan seksual tidak hanya mendapat hukuman penjara dan denda, namun terancam mendapatkan pidana tambahan. Adapun pidana tambahan yang dimaksud, sebagai berikut: Pencabutan hak asuh anak atau pengampunan, Pengumuman identitas pelaku, Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, dan Pembayaran restitusi.
Implikasi yuridis
Dalam penerapannya, banyak kasus-kasus kekerasan seksual yang disidangkan di pengadilan minim pembuktian, disebabkan penyidik Unit Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA) berlindung dalam UU TPKS yang mensyaratkan satu saksi dan satu bukti lainnya sudah memenuhi unsur dua alat bukti yang cukup untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka.
Hal tersebut mengakibatkan seseorang yang tidak senang terhadap seseorang akan membuat skenario seolah-olah telah terjadi perbuatan tindak pidana kekerasan seksual. Baik dengan dasar motif balas dendam, pemerasan, dan merusak citra seseorang atau pembunuhan karakter.
Seperti kasus yang sedang ramai dibicarakan Publik, perkara pidana nomor : 717/Pid.Sus/2025/PN Cbi. Terdakwa Murtado di Pengadilan Negeri Cibinong. Yang dalam proses penetapan Tersangka sampai pemeriksaan di persidangan sangat minim bukti dan saksi. Wajar kalau banyak kalangan menggangap kasus ini sarat kejanggalan dan fitnah. Dan juga kasus Guru Mansur di SDN 02 Kendari yang diduga melakukan tindakan asusila.
Solusi kongkret
Sebagaimana diketahui, karena tingginya ancaman pidana untuk pelaku tindak pidana kekerasan seksual bisa diancam 9 tahun atau lebih, maka sudah semestinya dalam melakukan pemeriksaan (tahapan penyelidikan, penyidikan, penuntutan serta pemeriksaan di pengadilan) aparat berwajib untuk mengedepankan azas kecermatan, kehati-hatian dan uji tuntas (due diligence), azas praduga tak bersalah (presumption of innocence) adalah prinsip dasar hukum terhadap terduga pelaku pidana yang harus dianggap tidak bersalah sampai kesalahannya terbukti secara hukum melalui putusan di pengadilan dan berkekuatan hukum tetap, dan azas due process of law (penegakan hukum sebagaimana mestinya) yang menjamin prosedur hukum harus adil, tidak memihak, tidak sewenang-wenang dan penerapan sesuai aturan. Sebagaimana tercermin dalam UUD 1945 (Pasal 28D ayat (1) hak kesamaan dihadapan hukum, hak atas bantuan hukum, hak atas peradilan yang adil serta melindungi hak asasi manusia dalam penegakan hukum (rechsstaat). Hal ini penting dilakukan oleh seluruh aparat penegak hukum, supaya jangan sampai akibat kesewenang-wenangan, kelalaian serta keberpihakan aparat, akhirnya menghukum seseorang yang tidak bersalah, dan juga menghukum seseorang tidak sesuai dengan perbuatannya. (**)
